Resensi: Aku, Buku dan Perjalanan Beradaptasiku

 





            Dua ribu dua puluh. Kembali memutar perjalanan, ketika semua hal yang telah matang-matang dirancang, harus menjadi sebuah draft yang perlu penulisan ulang. Ruang-ruang semakin menyempit, pembatasan mimpi, dan aku bergerak di tempat yang sama.

            Tugas mengembalikan buku ke perpustakaan adalah satu-satunya tujuan saat itu ketika aku ke kampus. Menaiki lantai dua, maka terlihatlah perpustakaan yang selalu ramai. Menuju meja penjaga perpustakaan. Buku tidak dapat dikembalikan. Aku terpaksa harus menyimpan dua buku itu lebih lama, karena ternyata kampusku akan diliburkan hingga batas yang tidak ditentukan karena pandemi. Kecewa? Tentu saja, karena aku masih ingin meminjam buku baru setelah buku lama dikembalikan. Dari sinilah antara aku, buku dan perjalanan beradaptasiku dimulai.

            Mahasiswa semester akhir. Perlu bimbingan. Kampus diliburkan. Seperti latihan menjadi pengangguran. Selama kampus libur, tidak ada aktifitas yang bisa aku lakukan. Kebijakan baru tentang pembelajaran online juga belum dapat diambil. Selama dua bulan itu, skripsi terbengkalai. Benar-benar tidak aku lirik.

            Mimpi mengenai wisuda di pertengahan tahun akhirnya aku kubur begitu saja. Sangat tidak mungkin itu terjadi. Dengan perasaan dongkol, tentunya aku lebih sering melihat sosial media untuk mencari hiburan. Tapi ternyata tidak ampuh juga, pemberitaan mengenai betapa hebatnya virus corona itu justru menambah penat.

            Seperti mencari sebuah pelarian, buku-buku yang selama ini tidak pernah aku lirik - justru menjadi menarik. Selama aku mencintai buku sedari kecil, buku non fiksi adalah yang paling dihindari. Aku bahkan tidak berniat membelinya atau membuatnya di daftar wishlist. Tetapi, aku punya beberapa bukunya - hadiah dari mengikuti kuis di sosial media. Buku yang masih dengan segel plastiknya itu akhirnya kubuka. Harum yang memabukkan, entah bagaimana dengan isinya.




            ANOMALI Memoar Seorang Bipolar. Menjadi pilihan pertama untuk mengisi tenaga. Mengapa buku ini menjadi pilihan, bukanlah karena aku mengalaminya. Tetapi, untuk mengambil berbagai ilmu, cerita-cerita, dan bahkan memahami setiap orang memiliki kesulitannya sendiri. Seseorang dapat terlihat baik-baik saja, padahal ia memiliki masalah besar di belakangnya. Hal itulah salah satu yang dapat aku petik dari buku karya Elnov. Bahwa kita tidak dapat menilai masalah seseorang, mengukur tingkat depresi seseorang hanya dengan menjadi penonton, lalu membanding-bandingkan dengan masalahmu.

            “Ah, begitu saja masa sudah stress.”

            “Itu belum seberapa, kalau aku.. “

            Buku yang terdiri dari tiga belas bagian itu membahas banyak hal yang sangat dekat dengan kehidupan. Seperti bagaimana seseorang mencari jati dirinya, saat penulis mengetahui banyak hal yang selama ini dirahasiakan darinya. Mencari kebahagiaan, hingga bantuan dokter ketika semuanya terasa sangat berat.




“Aku hidup di dunia ini tidak untuk memenuhi harapanmu. Kamu juga tidak hidup di dunia ini untuk memenuhi harapanku.”

-Bruce Lee, aktor legendaris

            Sepertinya kutipan itu menjadi yang terfavorit dari kutipan-kutipan lain dalam buku yang ditulis Elnov. Terutama buatku yang memang tengah ditodong pertanyaan “kapan wisuda?” Aku lebih sering merasa kesal ketika pertanyaan itu meluncur begitu saja, belum lagi membandingkan dengan orang lain. Sepertinya benar bahwa orang-orang harus berhenti menaruh harapan terlalu tinggi terhadapku.

            Buku kedua yang aku baca masih tetap non fiksi. Sepertinya aku ketagihan dengan buku-buku menenangkan semacam ini. Kali ini karya dari seseorang yang familiar di dunia pertelevisian, Desi Anwar. HIDUP SEDERHANA Hadir di Sini dan Saat Ini. Buku yang terdiri dari seratus sembilan puluh halaman itu terbagi menjadi banyak bagian. Aku membacanya dengan melompat-lompat, seperti mencari sesuatu yang pas dengan hidupku.


            Aku sangat setuju dengan penulis soal membaca, bahwa membaca menjadi sumber yang sejati. Membaca adalah kenikmatan sejati yang dapat kita miliki karena membaca berarti menyerahkan diri kita kepada semua indra dan kekayaan yang dianugerahkan hidup dan kehidupan kepada kita di dunia ini. Lebih jauh lagi, kenikmatan itu milik kita sendiri dan kita tak perlu membaginya kepada orang lain. Semua itu hanya seharga sebuah buku, (Desi Anwar, 2019:59).

            Berbicara soal buku dan bacaan, sungguh aku tidak pernah menaruh tolak ukur. Seperti apabila seseorang menyukai komik sebagai bacaan mereka, atau ketika orang lain lebih menyukai buku-buku filsafat. Aku tidak ingin menilai bagaimana mereka dari buku bacaan, silakan saja membaca demi kebahagiaan diri sendiri. Karena akupun demikian, aku lebih banyak membeli buku-buku yang tidak up to date. Buku terbitan tahun 2014, 2015, dll. Ketika tahun berjalanpun, aku tidak mematok harus memiliki buku terbitan baru. Semua buku kupandang dengan rasa yang sama, baik itu yang lama maupun yang baru. Aku membeli buku yang sesuai dengan diriku dan tentu saja dengan keuanganku.




“Lewat membaca kita bisa bersentuhan dengan seluruh pengalaman manusia: kegembiraan, tragedi, kemenangan, kekalahan, kepahlawanan, dan bahkan keberadaan manusia yang paling dasar, yang paling sepele, dan yang biasa-biasa saja.”

-Desi Anwar, penulis

            Melalui kedua buku itu, aku mengalami banyak hal. Bahwa memang benar hidup tidak akan mungkin hanya baik-baik saja, tapi itu bukanlah sesuatu yang harus mengurangi rasa syukur, atau bahkan untuk mengakhiri. Semua orang memiliki masa-masa sulitnya. Akupun demikian. Skripsi yang pada akhirnya terselesaikan hampir setahun, menjadi hadiah yang membahagiakan pada Desember tahun lalu. Menemani proses panjang dalam perjalanan beradaptasi selama #dirumahaja aku sangat-sangat berterima kasih terhadap kedua penulis yang melahirkan kedua buku super hebat itu.



            Aku juga belajar banyak hal selama pandemi, bagaimana proses beradaptasi dalam hidup yang buruk, ternyata hanya kelihatannya saja. Banyak hal-hal baik yang dapat aku petik. Rencana yang aku buat masih dapat berubah, masih dapat diubah. Kehidupan juga tidak hanya soal hal-hal menggembirakan, kadang butuh sebuah tangisan, teriakan, hanya untuk menyadari bahwa inilah hidup - ada fase di atas dan fase di bawah. Kita hanya perlu bersiap-siap ketika masa-masa buruk itu datang, harus belajar beradaptasi ketika memutuskan untuk bertahan.

            Terakhir, seperti kata Elnov dalam bukunya, kesehatan mental paling utama adalah menjadi diri sendiri. Dan mengatasi serangkaian krisis pilihan-pilihan hidup dengan kesadaran eksistensial yang matang.

 

Posting Komentar

1 Komentar